Candi Sojiwan - Wujud Indahnya Toleransi Beragama Sejak Lebih dari Seribu Tahun Silam



Desa Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah

Candi Sojiwan, sebuah penghormatan terhadap perbedaan dan saksi hidupnya toleransi beragama sejak seribu tahun silam. Kini, ia berdiri kembali dengan indahnya setelah berkali-kali diluluhlantakkan alam.

Di selatan Candi Prambanan, sebuah candi tunggal berdiri tak berkawan, dikelilingi ladang warga dan dilatari Bukit Batur Agung yang menghijau dari kejauhan. Candi ini berdiri cantik didampingi pohon-pohon besar yang tampak kekar seperti para penjaga. Dialah Candi Sojiwan, sebuah candi Buddha peninggalan masa pemerintahan Raja Balitung dari Kerajaan Mataram Hindu yang didirikan lebih dari seribu tahun silam. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9 Masehi sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek sang raja, Nini Haji Rakryan Sanjiwana yang tak lain adalah Pramodawardhani istri Rakai Pikatan, yang beragama Budha.

Candi Sojiwan pertama kali diteliti oleh J.R. van Blom yang kala itu sedang menulis sebuah disertasi di Universitas Laiden. Dalam disertasinya, Blom mengupas tentang hiasan yang terdapat pada candi tersebut. Kemudian pada tahun 1813, penelitian ini dilanjutkan oleh seorang utusan Raffles, Kolonel Colin Mackenzie. Kali ini, sang kolonel berhasil menemukan pagar yang berjarak 40 meter dari pusat candi dan membentenginya. Penelitian terhadap candi ini terus berlanjut. Hingga tahun 1996, proses pemugaran Candi Sojiwan resmi dilakukan. Namun sayang, belum sempat berdiri tegak, gempa bumi yang mengguncang Jogja pada Mei 2006 silam kembali meluluhlantakkan badan candi yang hampir jadi. Barulah pada tahun 2011, candi ini benar-benar tuntas direkonstruksi dan dapat dinikmati kembali keindahannya.

Meskipun sebagian besar batu-batu candi telah diganti (dapat dilihat dari bebatuan bertitik putih ditengahnya yang merupakan bebatuan pengganti batuan asli), namun struktur utama candi sebagai perwujudan meru dalam jagad kecil tetap terlihat. Masuk ke dalamnya, pengunjung akan disambut sebuah gapura yang persis berada di depan pintu masuk ruang candi. Dari gapura ini, tiga buah lapik arca terlihat sebelah menyebelah, tapi kosong tak ada yang bertakhta di sana. Kemungkinan besar, arca-arca tersebut telah diselamatkan ke tempat yang lebih aman.

Sementara itu di kaki candi, relief yang menggambarkan cerita-cerita jataka (fabel) yang penuh pesan moral dipahatkan. Pengunjung dapat mengelilingi candi dan menemukan 16 relief yang mewakili 16 cerita fabel di sana. Namun dari ke 16 relief tersebut, tinggal beberapa saja yang masih dapat dilihat jelas. Salah satunya cerita tentang seorang prajurit dan pedagang dalam kisah Dhawalamukha yang terdapat pada Kathasaritsagara. Cerita ini mengisahkan tentang seorang punggawa kerajaan yang memiliki dua orang sahabat, yakni seorang prajurit dan saudagar. Janji diucap, keduanya siap melindungi si punggawa bila mengalami gangguan ataupun suatu saat memerlukan harta. Demi memperlihatkan persaudaraan mereka kepada istrinya, maka si punggawa kerajaan itu berpura-pura mengalami kesulitan hebat dan datang meminta bantuan kepada kedua sahabatnya. Alih-alih memberikan bantuan, si pedagang mengatakan tak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, si prajuritlah yang dengan lantang mengatakan bahwa ia siap dengan tameng dan pedangnya untuk membela sahabatnya itu.

Usai mengelilingi candi dan mengamati tiap relief yang ada, bangku-bangku sederhana dari potongan kayu di bawah pohon rindang seolah memanggil pengunjung untuk segera duduk beristirahat di sana. Sembari membiarkan angin membelai tubuh yang lelah, sebuah candi yang dulu pernah runtuh tampak tegak begitu indah di depan mata. Ia berdiri bagai seorang guru, yang tak letih mengajarkan banyak ilmu kepada siapa saja yang datang bertamu. Pesan-pesan moral ia ajarkan dan indahnya toleransi antar umat beragama ia sebarkan.

Comments

Post a Comment