Hidup di Pulau Kecil
Jadi, hampir seluruh hariku di tujuh bulan terakhir ini kuhabiskan di sebuah pulau kecil di sudut Indonesia. Kecil karena aku hanya perlu 45 menit untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki malas-malasan. Kalau dilihat-lihat, dari jauh, pulau itu mirip kura-kura hijau raksasa. Dari dekat, ia seperti surga. Dari atas bagai gurita dan dari mataku, ia tak ubahnya generator penghasil tenaga.
Satu hal yang aku suka, pulau itu sedikit penghuninya. Aku bahkan hampir kenal semua orang, kecuali para tamu yang datang dan pergi tiap hari. Itu pun tak banyak.
Kehidupanku menjadi sederhana; bangun pagi, kerja, tidur dan mungkin memancing atau sekedar ngobrol dengan sesama pekerja setelah semua pekerjaan purna. Terkadang jika bosan datang, aku dengan sengaja membuat hidupku lebih complicated. Bangun lebih pagi dan menikmati sunrise sambil olahraga kecil-kecilan, memasak hasil pancingan sebelum makan, atau kupindahkan saja tempat tidur siangku di pantai belakang sembari menyeduh kopi. Kuperhatikan di mana letak sarang-sarang elang, kucari rumah umang-umang dan kutandai dengan ilalang. Menyenangkan.
Di pulau itu, tak pernah lagi kudengar diskriminasi hari; betapa Senin sangat dibenci dan Sabtu-Minggu selalu di nanti. Semua orang hanya akan peduli dengan tanggal. Itu pun hanya tanggal terakhir tiap bulannya; pertanda dompet akan kembali terisi.
Aku juga tak pernah mendengar bising kendaraan, kecuali pancung dan pompong yang lewat mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali sehari. Aktivitas dilakukan dengan jalan kaki dan komunikasi bergantung pada sinyal satu provider atau wi-fi yang di jam-jam tertentu purna koneksi.
Yah! Aku meninggalkan kehebohan dunia luar dan semakin masuk ke dalam alam. Bertemu elang dan biawak, berkenalan dengan macam-macam ikan, hingga bercumbu dengan agas dan lepak-si semut penjahit berkepala besar nan mengerikan.
Pernah suatu hari, aku sedang mencoba menyusun beberapa batu agar berdiri seperti yang aku lihat di salah satu akun instagram meditasi. Kira-kira waktu itu pukul enam pagi. Ombak tenang, langit cerah berawan dan matahari dibaliknya sembunyi. Tiba-tiba sekawanan hewan aneh sebesar kucing melintasi. Aku kaget setengah mati dan memutuskan diam mematung sampai mereka semua lari. Merasa aman, segera kutinggalkan batu-batu tadi dan pergi ke jetty. Hewan-hewan itu terlihat lagi. Keluar dari semak bakau sambil unjuk gigi; mencoba menakut-nakuti. Aku diam saja berdiri. Kuperhatikan mereka. Tingkahnya lucu menggemaskan, gesit dan pandai. Siang harinya, baru aku tau, hewan yang akhirnya lucu itu punya nama berang-berang.
Atau pernah pula aku melihat laut berubah seketika, begitu berbeda, tenang dan lebih indah dari biasanya. Warna airnya hijau toska, menyatu sempurna dengan pulau lebih besar di depannya. Aku dan beberapa tamu terkesima, bahkan beberapa dari mereka mengabadikannya. Tak sampai satu jam, semua berubah. Langit gelap dan hujan deras. Petir pun sempat sahut menyahut. Badai. Sejak saat itu, aku selalu siaga ketika air laut menjadi toska.
Kehidupan pulauku tak cuma itu saja. Aku bersandingan dengan warga lokal yang sama sepertiku. Sama-sama pekerja. Mereka berasal dari pulau-pulau sekitar, yang mungkin hanya setengah jam ditempuh dengan pancung. Selain lihai bekerja, mereka juga piawai mencari ikan. Bagi mereka ikan adalah menu wajib yang tak boleh absen dari tudung saji dan gulai adalah salah satu cara terbaik untuk membuat ikan jadi terasa lebih istimewa. "Tek, ikan ini (sebut semua jenis ikan) enak dimasak apa?" Pasti jawaban mereka, "Wah, itu sedap digulai." Tak heran jika gulai pun seringkali mengisi tudung nasi kami.
Semakin lama, aku semakin jatuh cinta dengan cara hidup di pulau itu. Cara hidup yang biasa saja, tidak aneh-aneh, tidak neko-neko. Waktu bekerja untuk bekerja, waktu tidur untuk tidur dan waktu santai untuk santai. Simple, sederhana. Aku menikmati suara ombak dan laut yang diam. Aku jatuh cinta pada malam dengan deretan bintang. Aku nyaman tanpa deskriminasi hari dan aku suka melihat biawak lewat sana sini. Paling menyenangkannya lagi, aku bisa berdiskusi tentang semuanya itu dengan makhluk tengil yang, ah... sudahlah, akan kuceritakan lain kali.
Comments
Post a Comment