Prau, Puncak Pertamaku

Akhir April 2015 lalu adalah kali pertama aku mendaki gunung. Bersama ke enam orang temanku, yang tak lain adalah anggota tim rescue, akhirnya aku berhasil menaklukkan Gunung Prau, Dieng, Wonosobo sebagai puncak pertamaku. 


Prau, puncak pertamaku

Keinginan menaklukkan puncak-puncak tinggi Indonesia memang sudah lama bercokol dibenakku. Sudah sejak SMA tepatnya. Harus ku akui, novel 5 cm-lah yang bertanggung jawab atas itu. Yah, jauh sebelum film hits 5 cm tayang di bioskop, aku sudah berulang kali khatam cerita si Genta dan teman-temannya itu. Tapi barulah di penghujung April 2015 lalu aku menghirup tipisnya oksigen di atas sana. Itu pun bukan Mahameru.

Pendakian ke Gunung Prau terbilang mendadak. Aku hanya punya waktu satu hari untuk mempersiapkan semuanya, termasuk keadaan fisik. Dalam waktu sesingkat itu, kalau bukan mereka yang mengajak, tentu saja sudah kutolak. Bukan apa-apa, aku sekedar sadar diri. Gunung bukan tempat normal yang bisa aku datangi kapan saja dengan persiapan seadanya. Terlebih lagi aku tidak pernah bisa bersahabat dengan dingin. 

Siang itu, Mas Klowor menghubungi aku via BBM. Ia mendikte semua perlengkapan yang harus aku bawa, mulai dari pakaian hingga alat penerangan -yang aku tak punya. Tanpa banyak pertimbangan, semua kusiapkan. 

Kami bertujuh berangkat dari Jogja. Namun sebelum berangkat, ada satu ritual yang penting dan tak boleh dilewatkan, mempersiapkan semua perlengkapan dan peralatan mendaki serta pembagian beban. Kami bertujuh hanya akan menginap selama satu malam di Prau. Ini yang kami bawa:

2 botol Oxycan 
6 botol air mineral 1500 ml
beras
tisue basah dan kering
P3K lengkap dengan tolak anginnya
tenda lengkap
selimut
sleeping bag tebal
headlamp/senter
makanan ringan dan cepat saji (termasuk minuman cepat saji aka kopi sobek, susu coklat UHT, dll)
trangia dan perlengkapan memasak
trash bag
perlengkapan pribadi masing-masing (alat mandi, pakaian ganti, jaket tebal, dsb)
dan beberapa peralatan lain yang aku tak tahu namanya

Beban dari perlengkapan tersebut tidak dibagi rata, tapi dibagi sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota. Semuanya disusun dengan rapi di dalam carrier. Proses packing pun tidak boleh dilakukan sembarangan karena itu tenyata akan mempengaruhi kita ketika mendaki.

Tak berhenti sampai di situ, pakaian pun termasuk hal yang menjadi concern utama. Just so you know, waktu itu aku datang dengan menggunakan celana olahraga pendek biasa. Akhirnya celana itu harus diganti dengan celana pendek outdoor. Sandal gunungku pun akhirnya ditukar dengan sepatu gunung punya Mas Dwek, kebetulan ukuran kaki kita sama.

Singkat cerita, kami sampai di pos pendakian. Rute yang akan kami lewati adalah puncak Prau via Patak Banteng. 




Kaki Gunung Prau ternyata begitu dingin. Tapi bukannya mengenakan jaket tebal, teman-temanku malah menyuruhku membuka jaket itu. Aklimatisasi. Itu istilah yang mereka sebut. Proses pengenalan tubuh kita terhadap perubahan suhu dan cuaca esktrim di tempat baru, kira-kira begitulah yang aku tangkap. Awalnya aku bingung karena ini tidak masuk akal. Tapi, menurut sajalah. Toh mereka “tim rescue”, kalau ada apa-apa denganku, merekalah yang bertanggung jawab. Yang jelas pesanku pada mereka, aku masih pengin punya kebun lavender dan bunga matahari. Jadi, harus balikin aku dalam keadaan baik-baik dan sehat-sehat.

Lima belas menit -kalau nggak salah- cukup untuk aklimatisasi. Kala itu hampir pukul tujuh malam. Sebelum melakukan pendakian, kami mengisi perut dengan semangkuk mie ongklok ala Patak Banteng dulu (serius, rasanya aneh). Usai urusan perut selesai, kami bergegas menuju pos retribusi, membeli tiket naik gunung seharga Rp15.000/orang. Ramai, kami harus mengantri seperti hendak membayar sekaleng bir di supermarket di tanggal satu sore. 

Tiket sudah di tangan, dengan bijaksana Mas Dwek menunjukku sebagai leader dari tim ini. “Yoga, kamu pimpin pendakian!” -Oke Fine- Sebuah kehormatan untuk memimpin enam orang sesepuh sebagai pengalaman pertama.


Mendaki Di Malam Hari





Comments

Post a Comment